Kemiskinan dalam Pandangan Islam
Kemiskinan merupakan ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Badan Pusat Statistik (BPS 2019) mengukur kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan ini memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan tersebut merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll) sedangkan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan .
Nurkse mengungkapkan bahwa penyebab kemiskinan dikarenakan adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal yang menyebabkan rendahnya produktivitas, sehingga pendapatan yang diterima pun rendah. Pendapatan yang rendah akan berdampak pada rendahnya tabungan dan investasi, sehingga menyebabkan keterbelakangan. Hal tersebut akan terjadi secara berulang-ulang, sehingga disebut dengan lingkaran setan kemiskinan atau vicious circle of poverty. Upaya utama yang dapat dilakukan untuk memutus lingkaran setan kemiskinan ini adalah memberikan tambahan modal kepada masyarakat miskin yang disertai dengan bimbingan dan pendampingan guna meningkatkan produktivitas (Drechsler 2009).
Terdapat beberapa hadist yang memandang kemiskinan sebagai bahaya yang menakutkan. Bahaya ini mengancam individu maupun masyarakat. Kemiskinan membahayakan akidah karena kaum dhuafa bekerja susah payah, sedangkan golongan kaya hanya bersenang-senang. Kemiskinan membahayakan akhlak dan moral karena ketika kemelaratan dan kesengsaraan berada pada lingkungan golongan kaya yang tamak, maka akan mendorong untuk melakukan pelanggaran. Kemiskinan mengancam kestabilan pemikiran, ancaman terhadap keluarga, serta kemiskinan mengancam masyarakat dan kestabilannya (Qardhawi 1995).
Sarana untuk menghapuskan kemiskinan menurut Qardhawi (1995) di antaranya adalah bekerja dan jaminan dari sanak saudara yang berkelapangan. Bekerja merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk mencari rezeki di seluruh penjuru bumi agar dapat melangsungkan kebutuhan hidup, disamping itu ia dapat menutupi kebutuhan keluarganya tanpa mengemis kepada seseorang, lembaga atau kepada pemerintah. Sementara itu, yang dimaksud dengan jaminan dari sanak saudara yang berkelapangan adalah menjadikan seluruh karib kerabat untuk saling menopang dan menunjang. Orang yang kuat menolong yang lemah, yang kaya membantu yang miskin, dan yang mampu mengulurkan tangan kepada yang tidak mampu, seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada Q.S Al-Anfal ayat
75:
وَأُوْلُوْاْاُلأَرْحاَ مِ بَعضُهُمْ أَوْلىَ بِبَعْضٍ فىِ كِتَبِ اُللَّهِ (۷۵)…
”…Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah”
Kemiskinan dalam Islam bersifat multidimensional (I. S. Beik and Arsyianti 2015). Multidimensioanl dalam hal ini adalah kemiskinan tidak dapat dipandang dalam aspek material saja, namun juga dipandang dengan aspek spiritual. Kemiskinan material didasarkan pada ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan material sepenuhnya seperti sandang, pangan, papan serta hilangnya rasa takut atau tidak adanya ancaman dan tekanan dari berbagai pihak. Sementara itu, kemiskinan spiritual didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman yang kurang tepat terhadap ajaran agama islam atau ada unsur kesengajaan untuk tidak melaksanakan ibadah agama. Oleh karena itu, islam memerintahkan kepada manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan material dan spiritual secara berdampingan, seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Q.S Al-Jumuah ayat 9-10:
يَآَ يٌّهَا اُ لَّذِ يْنَ ءَا مَنُوأ إِ ذَا نُو دِ ىَ لِصَّلَوةِ مِن يَو مِ اُ لْجُمُعَةِ فَاُ سْعَوْ اْ إِ لَى ذِ كْر اُ للَّهِ وَ ذَرُواْ اُ لْبَيْعَ ج ذَا لِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِ ن كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ {۹} فَاءِذَاقُضِيَتِ اُ لصَّلَوَةُ فَاُ نتَشِرُواْفىِ اُ لْأَرْضِ وَاُبْتَغُواْمِن فَضْلِ اُللًّهِ وَاُذذْكُرُو اْاُللًّهَ كُرُ واْاُ للًّهَ كَثِيرًا لًّعَلَّكُم تُفْلِحُو نَ {.ا}
”Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”(9)” Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu dibumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Alah banyak-banyak agar kamu beruntung”(10).
Pada konsep islam, terdapat perbedaan pendapatan dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok itu dianggap sebagai suatu sunatullah fil hayah (Hafidhuddin 2008). Dengan kata lain, perbedaan pendapatan antar rumah tangga itu sudah pasti terjadi, sehingga dalam islam tidak pernah berbicara mengenai upaya menghilangkan kemiskinan tetapi upaya untuk meminimalisir kemiskinan. Beik dan Arsyianti (2015) juga menjelaskan bahwa kesenjangan pendapatan ini dalam islam juga dipandang sebagai pentingnya upaya perhatian, pembelaan, dan perlindungan terhadap kelompok miskin oleh kelompok yang memiliki kemampuan lebih secara material dan spiritual.
Islamic poverty line atau garis kemiskinan (GK) syariah menurut (I. Beik 2009) dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu;
a. Pendekatan Garis Nisab Zakat
Pada pendekatan ini garis kemiskinan (GK) syariah dihitung menggunakan garis nisab zakat emas, perak atau zakat pertanian. Nisab zakat senilai 85 gram emas atau 20 dinar dan 595 gram perak atau 200 dirham. Dengan demikian, suatu rumah tangga dikatakan miskin apabila pendapatan perbulan mereka dibawah Rp 4,500,000 dengan asumsi harga emas Rp 640,000/gram (PT Antam, 2019). Sementara itu, untuk nisab pertanian senilai 524 kg beras atau 653 kg gabah. Dengan demikian, suatu rumah tangga dikatakan miskin apabila pendapatan setiap panen kurang dari Rp 5,240,000 atau Rp 1,393,000 perkapita, dengan asumsi harga beras Rp 10.000/kg.
b. Pendekatan Had Kifayah (Batas Kebutuhan Hidup)
Pendekatan had kifayah telah diterapkan oleh Lembaga Zakat Selangor, Malaysia. Pada pendekatan ini menghitung berapa tingkat kebutuhan hidupnya sesuai dengan prinsip maqashid syariah. Basis perhitungan had kifayah ini adalah untuk rumah tangga yang terdiri atas kepala rumah tangga dengan nilai Ringgit Malaysia (RM) 680, orang dewasa yang bekerja dengan nilai RM 420, orang dewasa yang menganggur dengan nilai RM 240, anak usia 7-17 tahun dengan nilai RM 180, anak usia 1-6 tahun dengan nilai RM 130. Melalui pendekatan ini, standar had al kifayah sebuah rumah tangga mencapai angka RM 1.650 atau Rp 5.775.000. Oleh karena itu, apabila terdapat rumah tangga pendapatan per bulan kurang dari angka tersebut dikategorikan sebagai mustahik zakat. Apabila dalam rumah tangga terdapat anggota yang cacat atau mengidap penyakit kronis, maka nilai had al kifayah dapat ditambah RM 590.
Berdasarkan kajian yang telah dilaksanakan oleh Pusat Kajian Strategis (PUSKAS 2018), saat ini had kifayah juga telah diterapkan di beberapa badan atau lembaga amil zakat di Indonesia, salah satunya adalah BAZNAS Kabupaten Kendal. Had kifayah adalah batas kecukupan atau standar dasar kebutuhan seseorang/keluarga ditambah dengan kecukupan tanggungan yang ada, sebagai upaya menetapkan kelayakan penerima zakat (mustahik) fakir miskin sesuai kondisi wilayah dan sosio-ekonomi setempat.
Had kifayah ditetapkan berdasarkan tujuh dimensi kebutuhan dharuriyat dan hajiat assasiyat manusia. Tujuh dimensi had kifayah tersebut meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan fasilitas rumah tangga, ibadah, pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Landasan teori setiap dimensi berasal dari landasan syariah sesuai dengan Al Quran, hadits, dan pendapat para ulama serta landasan teori lain yang berasal dari UUD, UU, Peraturan kementerian, hasil survei BPS, jurnal, dan literatur lainnya. Adapun besaran nominal Had Kifayah pada masing-masing daerah di Indonesia ditunjukkan pada Tabel berikut;
Referensi
Beik, Irfan. 2009. “Analisis Peran Zakat Dalam Mengurangi Kemiskinan: Studi Kasus Dompet Dhuafa Republika.” Pemikiran dan Gagasan 2(January 2009): 45–53.
Beik, Irfan Syauqi, and Laily Dwi Arsyianti. 2015. “Construction Of CIBEST Model as Measurement of Poverty and Welfare Indices From Islamic Perspective.” Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah 7(1): 87–104.
BPS. 2019. Data Jumlah Penduduk Miskin Dan Persentase Penduduk Miskin Pada Tahun 2010-2019 Periode Bulan Maret. Jakarta.
Drechsler, Wolfgang. 2009. “Towards the Law & Economics of Development: Ragnar Nurkse (1907-1959).” European Journal of Law and Economics 28(1): 19–37.
Hafidhuddin, Didin. 2008. Agar Harta Berkah Dan Bertambah. Jakarta: Gema Insani.
PUSKAS. 2018. Kajian Had Kifayah 2018. Jakarta: BAZNAS.
Qardhawi, Yusuf. 1995. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan. Jakarta: Gema Insani.
Komentar
Posting Komentar