TRADISI SADRANAN PENYAMBUNG SILATURRAHIM
Assalamualaikum wr.wb..
Apa yang anda pikirkan ketika
pertama kali mendengar kata “sadranan”?
Sering
kali ketika saya bercerita tentang sadranan ke teman-teman saya kuliah pasti
mereka berfikirnya langsung ke pantai sadranan Gunung Kidul
Yogyakarta. Maklum lah mereka orang-orang dari luar kota bahkan luar pulau
jawa. Maka dari itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan salah satu
kegiatan sadranan yang rutin dilakukan setiap tahunnya. Mungkin kegiatan yang
telah menjadi tradisi ini hanya dilakukan di berbagai daerah saja. Nah apa saja
sih rangkaian kegiatan sadranan yang sudah menjadi tradisi setiap tahun ini?
Bahkan belum tentu daerah lain ada tradisi seperti ini. Yuk baca tulisan ini
sampai selesai ya, biar ilmu pengetahuanya nggak tanggung-tanggung. Hehe😁
Sebelum
masuk ke permbahasan mengenai sadranan perlu kita ketahui dulu bahwa dalam
hitungan kalender 1 tahun masehi terdapat waktu 12 bulan yang diawali dari
bulan januari sampai desember. Berbeda dengan perhitungan kalender hijriyah
yang diawali dari bulan muharrom sampai
dzulhijah. Berbeda lagi dengan perhitungan kalender jawa yang diawali bulan
suro sampai bulan besar. Ketiga perhitungan kalender tersebut sampai saat ini
masih digunakan oleh masyarakat indonesia. Meskipun yang sering di gunakan
adalah kalender masehi, namun untuk saat ini kalender jawa masih erat digunakan
oleh orang-orang tua (sesepuh) masyarakat jawa khususnya masyarakat jawa
tengah.
Dalam
kalender jawa terdapat satu bulan yang dipercayai sebagian masyarakat sebagai
bulan pengangkatan arwah leluhur yang telah meninggal dunia yaitu bulan “Ruwah”
Istilah tersebut konon berasal dari kata “ngluru arwah” artinya “mencari
arwah”. Pada bulan ruwah ini sama halnya dengan bulan sya’ban ditahun hijriyah,
nah di bulan ruwah ini terdapat beberapa daerah yang menyelenggarakan tradisi
sadranan atau “nyadran”, diantaranya kabupaten Boyolali, Klaten, Temanggung,
Magelang dan beberapa daerah lainnya. Namun terdapat beberapa perbedaan antara
daerah satu dengan yang lainya.
Sadranan
yang terdapat di daerah Temanggung, Magelang, Klaten dan daerah lainnya berupa
mendatangi tempat pemakaman untuk bersih-bersih kemudian pembacaan doa tahlil
atau yasin maupun doa yang lainnya. Hal
ini berbeda dengan sadranan yang terdapat di kabupaten boyolali khususnya
kecamatan selo, ampel, cepogo dan musuk. Di bulan ruwah ini terdapat 29 hari
namun kegiatan sadranan biasanya dimulai dari tanggal 8 dan berakhir di tanggal
25. di mana masing masing dukuh menyelenggarakan sadranan ini hanya 1 hari saja
namun ada beberapa desa yang sampai 2-3 hari. Penentuan tanggal sadranan antara
dukuh satu dengan dukuh yang lain ini disesuaikan dengan kepercayaan dari masig-masing
dukuh, sehingga tidak menutup kemungkin kalau dalam 1 hari terdapat 3-6 dukuh
yang merayakan sadranan secara bersamaan.
Tradisi
nyadran ini konon berasal dari tradisi Hindu sejak zaman Majapahit, karena
agama hindu lebih awal masuk ke indonesia dari pada agama islam. Pada zaman
itu, masyarakat biasa mengunjungi makam leluhur, membersihkan, dan memberi
sesaji di atas pusaranya. Setelah datangnya agama islam tradisi ini masih
dipelihara oleh para wali dalam dakwah dan penyebaran agama islam, namun dalam
hal ini para wali datang ke makam untuk mendoakan para leluhur atau orang yang
lebih dahulu meninggal dunia dan membawa makanan bukan untuk disuguhkan sebagai
sesaji tapi untuk menjamu orang-orang yang ikut berdoa.
Apa
saja rangkaian kegiatan dalam sadranan?
Terdapat beberapa rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat dalam sadranan, berikut merupakan rangkaian acara sadranan yag dilakukan oleh masyarakat dukuh kalitengah, wonodoyo, cepogo, boyolali diantaranya:
1)
Mengaji Yasin setiap malam
Terdapat
beberapa daerah yang melakukan ibadah mengaji yasin bersama-sama dari awal
bulan ruwah sampai malam sebelum pelaksanaan sadranan, missal: sadranan di
dukuh kalitengah diselenggarakan pada tanggal 20 ruwah maka dari tanggal 1-19
ruwah setiap malamnya diselenggarakan mengaji yasin bersama-sama disalah satu
rumah warga secara bergilir.
2)
Kenduri
Punggahan
Kenduri punggahan merupakan salah satu kegiatan berdoa
dirumah warga (bagi warga yang orang tuanya telah meninggal) secara bergilir
dan di beri makanan sebagai bentuk sedekah karena telah membantu pembacaan
doa.
|
|
3)
Bubak
Bubak atau bersih bersih makam ini dilaksanakan pagi hari
sebelum acara sadranan dimulai.
|
|
4)
Sadranan
Acara sadranan ini dimulai setelah selesainya acara bubak,
kemudian warga menuju pelataran makam dengan membawa tenong (tempat makanan)
yang berisi makanan dari rumah masing-masing atau sering disebut hastonoloyo.
Biasanya yang melaksanakan ini adalah laki-laki.
|
|
Sesampai di pelataran makam, masyarakat meletakkan tenong
dan melaksanakan mengaji yasin dan tahlil bersama disertai adanya ceramah
oleh tokoh agama atau kyai
|
|
Setelah mengaji dan doa bersama selesai dilanjutkan dengan
makan bersama makanan yang dibawa di dalam tenong tadi yang juga disajikan
untuk menjamu kerabat yang berdatangan dari daerah luar daerah.
|
|
5)
tompo tamu besik
Setelah rangkaian
sadranan di makam selesai, warga kembali kerumah dengan membawa sisa makanan
yang ditenong. dirumah warga juga telah menyiapkan jamuan buat para tamu yang
berdatangan dari lain dukuh maupun
dari luar daerah dari pagi hingga larut malam. Seperti halnya penerimaan tamu
waktu idul fitri.
|
|
Bagaimana
Pandangan Islam Terhadap Tradisi Sadranan?
Sadranan
ini tidak bertentangan dengan syariat islam karena tujuannya adalah berdoa kepada Allah SWT atas orang orang yang
telah meninggal dunia agar diampuni dosanya sebelum bulan ramadhan datang dan
mengingatkan pada diri masing-masing bahwa semua orang akan mengalami kematian.
Adapun doa yang dipanjatkan adalah doa yang bersumber dari ayat suci AlQur’an
seperti membaca Q.S yasin, tahlil dan surat-surat lainnya. "Dari Ma'qil
bin Yasar bahwa Rasulullah Saw bersabda: 'Bacalah surat Yasin di dekat
orang-orang yang meninggal.' Ibnu Hajar berkata: Diriwayatkan oleh Abu Dawud,
al-Nasa'i dan disahihkan oleh Ibnu Hibban".
Hal
ini juga dikuatkan dalam hadist Rasulullah SAW:
Artinya: “Jika anak
Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah
, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa kepadanya (orang tua).” (HR
Muslim).
Disisi lain membawa
makanan ke tempat makam bukan sebagai bentuk sesaji kepada roh atau leluhur
tetapi sebagai bentuk sedekah untuk menjamu kepada kerabat, tetangga dan
saudara yang berdatangan dari luar daerah untuk menjalankan doa bersama. “Bersedekah
kepada orang miskin adalah satu sedekah, dan kepada kerabat ada dua (kebaikan);
sedekah dan silaturrahim.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Hakim,
Shahihul Jami’ no. 3858)
Demikian tulisan saya
mengenai tradisi sadranan, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi yang
membaca. Saya juga memohon maaf apabila terdapat kata-kata yang salah dan
kurang berkenan dihati. Besar harapan saya untuk mendapatkan masukan dari para
pembaca demi kesempurnaan tulisan saya. Wassalamu’alaikum
wr.wb…..
Komentar
Posting Komentar